Kinerja Bumn Di Era Jokowi Dan Sby Memiliki Kesamaan
Komisi VI DPR RI telah menyetujui usulan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada 10 perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) senilai Rp 73 triliun pada tahun 2023.
Angka tersebut mencakup PMN tunai senilai Rp 69,8 triliun dan PMN non tunai senilai Rp 3,4 triliun.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, PMN di era Presiden Joko Widodo dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memiliki beberapa kesamaan.
Kesamaannya terletak pada penugasan terhadap BUMN baik sebagai penugasan BBM subsidi energi atau ada juga yang dilakukan untuk restrukturisasi BUMN yang sedang sakit.
Namun Bhima mengungkapkan, pada era Presiden Jokowi, PMN lebih ditekankan untuk dipakai menutup cost overrun dan percepatan proyek-proyek infrastruktur.
Sedangkan pada tahun sebelum era pemerintahan Jokowi, BUMN diharapkan dapat mencari permodalan sendiri sehingga tidak terlalu membutuhkan suntikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Itu yang menjadi perbedaan mencolok dengan pemerintahan SBY," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (10/7).
Namun yang menjadi permasalahannya, banyak investor swasta yang tidak terlalu tertarik masuk ke infrastruktur dengan berbagai alasan, salah satunya adalah tingkat keuntungan investasi atau internal rate of return (IRR) kecil, atau proyeknya dinilai relatif berisiko, baik itu risiko politik maupun risiko keberlanjutan.
"Risiko yang paling besar yang sekarang ditanggung PMN BUMN adalah cost overrun, mulai dari kenaikan biaya material, karena ternyata beban material impor untuk konstruksi infrastruktur sangat besar, seperti baja, dan mesin terutama," jelasnya.
Menurutnya, jika kelebihan beban biya tersebut ditutup sendiri oleh BUMN, maka akan menekan likuiditas BUMN, terutama BUMN Karya. Hal ini bisa berpengaruh terhadap pembayaran kredit sindikasi bank BUMN. Pasalnya, banyak juga bank BUMN yang masuk ke kredit infrastruktur strategis.
"Nah, di sini titik tekan perbedaannya (dua presiden tersebut), karena terlalu berat, ujungnya yang tadinya BUMN ini bisa mandiri mencari pendanaan dengan kerjasama badan usaha atau swasta, ternyata tidak semudah itu.
Yang terjadi BUMN menanggung cost overrun, di proyek kereta cepat, di proyek jalan tol, dan ini yang mengakibatkan tekanan terhadap BUMN semakin meningkat," kata Bhima.
Terlebih lagi, BUMN juga menghadapi tekanan selisih kurs, suku bunga naik, hingga nilai tukar yang melemah. Imbasnya, beban biaya proyek akan membesar sehingga PMN pada akhirnya lebih banyak digunakan untuk proyek-proyek infrastruktur.
Di sisi lain, Bhima menambahkan, terdapat sejumlah BUMN yang sedang bermasalah dan membutuhkan restrukturisasi. Misalnya saja PMN Rp 7,5 triliun untuk penyehatan Garuda Indonesia, Holding Aviasi Pariwisata senilai Rp 9,5 triliun, hingga penyehatan asuransi Jiwasraya yang ditangani IFG lebih dari Rp 20 triliun.
"Ada juga beberapa permasalahan manajerial, ada gagal bayar asuransi, yang kemudian berimplikasi juga terhadap PMN ujungnya," tuturnya.
Selain itu, menurut Bhima, contigency risk dari BUMN ke APBN ini menjadi semakin besar di era Presiden Jokowi akibat kesalahan penugasan, kesalahan manajerial, hingga kasus korupsi. Ini akhirnya yang dibebankan ujungnya ke APBN.
"Itu paradoksnya. Tadinya PMN mau berkurang, mau fokus BUMN cari partner, ternyata banyak BUMN yang ujungnya mencari bantuan lagi kepada pemerintah. Mintanya Rp 70 triliun lebih, tapi dividennya cuma Rp 40 triliun. Itulah paradoks PMN di era Jokowi," tandasnya.