Ternyata Hingga Kini Makin Menguat Desakan ke KPK Jemput Paksa Lukas Enembe dari Papua!
Gubernur Papua Lukas Enembe belum juga memenuhi panggilan KPK terkait statusnya sebagai tersangka dengan alasan sakit. Sejumlah aktivis antikorupsi mendesak KPK agar segera melakukan jemput paksa Enembe.
Lukas Enembe diketahui merupakan tersangka dugaan suap dan gratifikasi APBD Provinsi Papua. Pemanggilan pertama dari KPK, dimentahkan olehnya. KPK pun lantas bergegas melakukan pemanggilan yang kedua.
"Sejauh ini kami akan segera kirimkan kembali surat panggilan kedua sebagai tersangka," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Kamis (29/9/2022).
Ali mengatakan pihaknya berharap Lukas Enembe kooperatif untuk memenuhi panggilan kedua nanti. Sementara, Enembe mengaku masih menjalani perawatan dan tidak bisa beraktivitas seperti orang sehat pada umumnya.
"Saya masih dalam perawatan, belum bisa bicara terlalu banyak, berjalan terlalu lama, dan tidak bisa kelelahan," kata Lukas Enembe di Jayapura, Jumat (30/9).
Dalam keterangan video yang diterima di Jayapura, Lukas juga mengaku kakinya mengalami pembengkakan sehingga sulit berjalan. Dia mengatakan kakinya terasa sakit sekali dan masih membengkak.
Desakan ICW
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai proses hukum terhadap Gubernur Papua Lukas Enembe yang dilakukan KPK terlalu berlarut-larut. ICW meminta KPK bertindak cepat.
"ICW beranggapan proses hukum terhadap Saudara Lukas Enembe ini sudah terlalu berlarut-larut. Untuk itu, guna mempercepat penyidikannya, ICW mendorong agar KPK segera melakukan upaya hukum berupa penjemputan paksa terhadap Gubernur Papua itu. Bahkan, jika dibutuhkan, bukan hanya penjemputan paksa, melainkan penangkapan lalu dilanjutkan penahanan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Selasa (27/9).
ICW menyarankan KPK berkoordinasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memeriksa kesehatan Lukas Enembe. Hal ini, katanya, penting dilakukan untuk memastikan Lukas Enembe benar-benar harus mendapat perawatan atau tidak.
"Jika benar kondisi Lukas memang sedang sakit, KPK dapat melakukan pembantaran terhadap yang bersangkutan. Namun, jika kondisinya sehat dan terbukti tidak sakit, KPK harus menjerat pihak-pihak yang memanipulasi kondisi kesehatan Lukas dengan Pasal 21 UU Tipikor terkait obstruction of justice," tutur dia.
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) meminta KPK menjemput paksa Gubernur Papua Lukas Enembe karena dua kali tak menghadiri panggilan pemeriksaan dengan alasan sakit. MAKI menilai KPK harus berani menjemput Lukas Enembe.
"Harus jemput paksa dan dilakukan penahanan karena KUHAP atur cara itu, kalau nanti benar-benar sakit maka cukup dibantarkan di rumah sakit," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Selasa (27/9).
Boyamin mengatakan penegakan hukum harus berlaku sama kepada setiap orang. Boyamin menyinggung KPK yang pernah melakukan upaya penjemputan paksa kepada mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP.
"Hukum harus berlaku semua seperti KPK memperlakukan Setya Novanto," tutur dia.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman meminta KPK tegas dalam menangani perkara Gubernur Papua Lukas Enembe. Zaenur meminta KPK menjemput paksa Enembe jika tak memenuhi panggilan.
"Yang pertama, KPK harus tegas dalam penanganan perkara ini. Bahwa seorang tersangka sesuai yang diatur dalam KUHAP itu jika telah dipanggil dengan layak harus menghadiri panggilan dari penyidik," kata Zaenur kepada wartawan, Sabtu (1/10).
"Tentu setelah dipanggil secara layak tidak hadir, kembali tidak hadir, maka bisa dilakukan upaya paksa. Bisa dilakukan upaya paksa," tambahnya.
Selain itu, Zaenur menyarankan KPK untuk menggunakan pendekatan sosial dengan menggandeng tokoh setempat. KPK, katanya, harus memberi paham para pembela Enembe bahwa ini adalah murni proses hukum.
"Terus yang selanjutnya, KPK bisa menggunakan pendekatan sosial kemasyarakatan, menjelaskan kepada masyarakat misalnya dengan menggandeng tokoh masyarakat menjelaskan bahwa ini proses hukum yang tidak terkait dengan politik atau hal-hal lain, ini adalah murni proses hukum," ujarnya