Ganjar Sosok Pemimpin Yang Membina! Bukan Semena-Mena!


Anda tidak tahu bagaimana menggunakan Bahasa Inggris, ya”, cemooh editor Sun Fransisco Examiner saat menolak naskah cerpen karya Joseph Rudyard Kipling. Dia adalah penulis cerpen, novelis, dan penyair yang amat terkenal dengan pendapatnya tentang imperialisme Britania Raya di India.

Tanah kelahirannya di India, tapi kemudian orang tuanya mengajaknya pindah ke London. Hingga akhir hayatnya, Inggris lah yang menjadi tempat peristirahatan terakhirnya. Rudyard yang terkenal dulu juga pernah dikritik dan ditolak, lalu apa itu yang membuatnya marah-marah nggak jelas?

Tidak pastinya, karena ia sadar menjadi penulis ternama itu butuh perjuangan, dan pengorbanan. Menerima kenyataan yang disampaikan editor itu salah satu bahan evaluasi untuknya, agar ke depan bisa memperbaiki hasil karyanya.

Namun hal itu bertolak belakang dengan kepala daerah Jawa Barat, Ridwan Kamil, saat salah satu warganya mengkritik postingan di akun media sosialnya. Kronologinya begini, postingan Ridwan Kamil yang rapi dengan jas parpol barunya warna kuning memperlihatkan kegiatan zoom meetingnya dengan anak SMP.

Timbulah komentar menohok dari seorang guru honorer yang bertanya dalam bahasanya seperti ini “maneh (kamu) dalam posisi apa?, sebagai gubernur, kader partai, atau sebagai pribadi Ridwan Kamil?”

Coba tunjukkan salahnya di bagian mana?

Tidak ada. Pertanyaan itu wajar, sangat wajar.

Tapi gubernur yang kerap disapa Kang Emil itu tidak terima, hingga akhirnya koment itu di pin paling atas yang menimbulkan pusat perhatian followersnya. Tak berhenti di situ, tindakan semena-menanya sebagai pejabat menguar begitu saja lewat pemecatan Sabi dari profesi guru honorernya.

Alasan pemecatan itu sangat sepele, hanya karena ia menggunakan bahasa yang kurang sesuai dengan umur atau justru jabatan yang memisahkan mereka, dalam menyampaikan kritik pada kolom komentar postingan Ridwan Kamil. Lebih tepatnya saat Sabi menggunakan kata maneh ketika mengkritiki gubernurnya.

Sontak saja, berita panas itu tersiar di berbagai media, bagaimana keterlaluannya RK hingga teganya dia bertindak sebagai pemimpin yang semena-mena atas jabatannya. Dari situ RK menjadi bulan-bulanan warga Indonesia dari berbagai kalangan.

Salah satu dari mereka berpendapat seharusnya RK ini berpikir dan bertindak lebih bijak, bahwa medsos itu sebagai ruang terbuka public. Ia harusnya bisa mengedukasi atau memberi tahu bagaimana bahasa yang baik dan benar khususnya persoalan tingkatan bahasa yang digunakan warganya.

Tapi nyatanya, langkah itu tidak diambil oleh RK, justru dia melakukan hal kekanakkan, mengepin koment yang juga dinoticenya dengan bahasa yang sama. Dan yang membuat tindakannya dinilai telah keluar dari batas wajar ketika Sabi dipecat dari profesi guru honorernya, hanya karena menyampaikan anggapan janggalnya lewat pertanyaan.

Nah, itu tuh yang aku masalahkan, tentang anggapan janggal yang dilontarkan Sabi. Menurutku memang RK ini bukan mempermasalahkan bahasa penyampaiannya Sabi, karena Sabi ini salah satu simpatisannya sebelum duduk di kursi gubernur. Artinya Sabi menganggapnya sebagai pemimpin tapi tidak menghilangkan bahasa friendlynya dengan RK.

Gimana sih, biar kesannya pemimpin dan rakyat tidak ada sekatnya begitu, seperti halnya teman sehari-hari. Tapi itu tidak diterapkan Ridwan Kamil kepada warganya. Baginya perbedaan pejabat ataupun kepala daerah dan rakyat itu amat terlihat, ada sekat tebal diantara mereka.

Lalu point lainnya, penyebab Sabi hengkang dari profesi guru adalah pertanyaan yang menyinggung sang gubernur. RK tidak suka pertanyaan netter yang menyudutkan posisinya. Seharusnya tinggal dijawab saja sih, dia bisa merangkap semua kedudukan yang disebutkan Sabi itu, tapi kabut emosi sudah menguasai RK hingga jiwa arogansinya muncul.

Yang kemudian menampakkan taring lewat kekuatan posisinya yang bisa menghabisi rakyat jelata macam Sabi ini. RK harusnya bisa bercermin dari tetangganya, Ganjar Pranowo.

Bagaimana gubernur Jawa Tengah itu yang anti terhadap segala jenis kritikan. Apapun jenis kritiknya semua diterima dan ia tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk menyerang siapa yang mengkritiknya, sekalipun penyampaiannya menggunakan bahasa keras.

Begitu pula dengan pertanyaan yang terlontar kepadanya, sebisa mungkin ia akan meresponnya. Ganjar tak merasa terbebani, karena prinsipnya bermedia sosial untuk menjangkau semua rakyatnya.

Media itu membantunya dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin. Rakyat tidak mungkin semua bisa bertemu dengan pemimpinnya, untuk menyampaikan unek-unek, hingga aspirasinya Ganjar menggunakan media sosial agar mempermudah mereka dalam mengeluarkan itu semua.

Ya, Ganjar sudah menerapkan media sosial ini sebagai ruang terbuka sekaligus tempatnya beinteraksi dengan rakyat. Sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kang Emil, Ganjar tidak pernah menyudutkan siapapun yang mengkritikinya. Justru Gubernur dua periode itu memberikan contoh bagaimana bersikap di media sosial.

Memang gubernur Jabar itu seperti anak kecil yang kehilangan sikap dewasanya, terlalu kekanakkan dalam bermedia sosial. Harusnya pejabat itu bisa menempatkan dirinya baik di media maupun saat berinteraksi langsung dengan rakyatnya. Tapi nyatanya itu jauh dari sosok gubernur necis sekelas Kang Emil.

Dari kejadian tidak mengenakkan ini, seharusnya Ridwan Kamil segera berbenah diri. Bercermin pada Ganjar Pranowo sebagai kawan di sebelahnya agar lebih bijak dalam bermedia sosial. Karena memang sejatinya seorang pemimpin itu harus jauh dari sikap dan sifat semena-mena, sekaligus menghindari huru-hara yang meresahkan rakyatnya.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url